Minggu, 15 Agustus 2010

Ustad Gaul, Jeffry Al Buchori

Masa Remajanya Bergelut dengan Narkoba

Boleh dibilang selama Ramadan ini, wajah ganteng Ustad Jeffry Al Buchori paling laris menghiasi layar kaca. Sejumlah acara, baik di waktu sahur, menjelang buka puasa, maupun siraman rohani, menjadi makin menarik karena diisi oleh ajakannya untuk hidup di jalan Allah SWT. Nyaris semua stasiun televisi swasta memajang dirinya. Berikut kisah petualangan sang ustad yang ditulis oleh wartawan Suara Merdeka, Tresnawati.

PUNCAK karier sang ustad kondang ini memang cukup luar biasa. Dalam waktu tidak terlalu lama, ustad bernama lengkap Jeffry Al Buchori Modal ini telah meluncurkan album berisi lagu-lagu religius yang diberi tajuk Lahir Kembali. Sebelumnya, ia juga meluncurkan paket album. Kali ini memang bukan berisi lagu-lagu dari suaranya yang merdu, melainkan berisi kisah perjalanan hidupnya yang sungguh dahsyat, penuh gejolak, dan tikungan tajam, serta proses pergulatan yang luar biasa dialami sampai ia menemukan kembali kehidupan yang tenang dan menenteramkan. Kisah hidupnya itu dikemas dalam paket Perjalanan Hidup Jeffry Al Buchori, baik berupa kaset, CD, maupun VCD. Masih ditambah sebuah VCD berupa tuntunan shalat bagi para pemula.
''Sebelumnya memang sudah banyak yang meminta saya untuk menyinetronkan kisah hidup saya, tapi selama ini saya selalu menolak. Setelah ada ajakan dari Akurama Record, baru saya tertarik untuk merekam perjalanan hidup saya. Mudah-mudahan bisa menjadi madrasah, bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk mereka yang memang membeli paket itu, karena ingin mengetahui kisah hidup saya,'' tutur Jeffry.
Ia sendiri mengaku, sebetulnya tidak ingin lagi bercerita mengenai masa lalunya. ''Maklum, sangat kelam. Tapi kalau memang ada gunanya bagi pembaca, saya tidak keberatan membaginya. Sekali lagi, semoga bisa menjadi madrasah bagi siapa pun. Bagi saya, masa lalu saya itu adalah madrasah bagi saya,'' tutur bapak dua anak itu. Jeffry lalu bercerita panjang lebar mengenai masa lalunya.
Dia lahir di Jakarta, 12 April 1973, tumbuh di tengah keluarga yang amat taat beribadah. Ayahnya, H Ismail Modal, yang asli Ambon, sangat keras mendidik anak-anaknya dalam hal agama. Sementara sang umi, Tatu Mulyana, yang asal Banten, adalah ibu yang sabar dan lemah lembut pada kelima putra putrinya.
Berada di lingkungan keluarga yang taat agama membuat Jeffry kecil menyukai pelajaran agama. Dia memang dikaruniai kecerdasan yang melebihi rata-rata anak seusianya. Terbukti ia bisa loncat kelas dari kelas 3 ke kelas 5. Ia pun kemudian sekelas dengan kakak keduanya. Ketika duduk di kelas 5 SD itu, ia pernah ikut kejuaraan MTQ sampai tingkat provinsi.
Bukan hanya ilmu agama yang disukai Jeffry, melainkan juga pelajaran kesenian. ''Saya sendiri tidak tahu kenapa, kok waktu itu suka sekali tampil di depan orang banyak,'' kenangnya.

Kepribadian Ganda

Selepas SD, sang ayah yang disapanya Apih memasukkan Jeffry dan kedua kakaknya ke sebuah pesantren modern di Balajara, Tangerang. ''Apih ingin kami anak-anaknya mendalami agama. Tapi waktu itu nggak tahu kenapa, kok kenakalan saya mulai tumbuh,'' tuturnya.
Salah satu kenakalannya adalah ia memilih diam-diam tidur, sementara yang lain menjalankan ibadah shalat, ataupun kabur dari pesantren untuk nonton film di bioskop atau main. Karena tertangkap melakukan kesalahan, kepala Jeffry kerap dibotaki karenanya. Tapi ternyata hal itu tidak membuatnya jera.
Jeffry mengaku, saat itu seolah punya kepribadian ganda. Di satu sisi ia amat nakal, di sisi lain keinginan untuk melantunkan ayat-ayat suci Alquran begitu kuat. Tiap ada kegiatan keagamaan, ia selalu terlibat.
''Bersama kedua kakak saya, saya pernah membuat drama tanpa naskah berjudul Kembali Ke Jalan Allah yang dilombakan di pesantren. Ternyata karya itu dinilai sebagai drama terbaik se-pesantren.
Pada waktu masih ABG, dia juga juara lomba azan, lomba MTQ, dan qasidah. Meski demikian, tak tahu kenapa, kenakalannya juga semakin menjadi. Puncaknya, ia keluar dari pesantren karena merasa bosan. Hanya empat tahun ia menempuh pendidikan di pesantren. Sang ayah lalu memasukkannya ke sekolah aliyah. Di sanalah kenakalannya semakin berkembang saja.
Yang mengherankan, Jeffry selalu ikut serta setiap ada acara keagamaan, tetapi ia juga tak pernah menolak di ajak teman-temannya ke kantin untuk memakai narkoba. Ia pun mulai mengenal narkoba, sering kabur dari kelas. Keluar dari pesantren, Jeffry mengaku seperti burung lepas dari sangkar, terbang tak terkendali.
Hanya bertahan selama satu tahun, dia lalu pindah ke sekolah lain. Tapi yang jelas, kelakuannya makin bertambah buruk saja.
Dari perkenalan dengan beberapa teman, ia mengenal petualangan baru. Umur 16 tahun, Jeffry mulai kenal dunia malam. Ia hanya masuk sekolah pada saat ujian. Dia lebih suka mendatangi diskotek untuk menari. Ketika itu, ia mengaku sangat tertarik pada tarian di diskotek. Tiap pergi ke arena dugem (dunia gemerlap-red) itu, ia selalu mempelajari gerakan orang-orang yang nge-dance. Ia lalu menirukannya.
Jeffry pun menjelma sebagai seorang penari. Berkelana dari satu diskotek ke diskotek lain. Berbagai lomba dance ia ikuti dan sempat menyabet sejumlah piala. Ia juga jadi penari di Dunia Fantasi Taman Impian Jaya Ancol. Dunia foto model pun ia geluti. Di tengah kebengalannya, tahun 1990 ia lulus SMU.

Pengalaman

Selepas SMA, dia mulai berkenalan dengan dunia acting. ''Itu benar-benar pengalaman yang menurut saya paling dahsyat,'' kenangnya. Ketika itu, ia berkenalan dengan Aditya Gumai yang saat itu aktif di dunia seni peran. Aditya dikenal sebagai pelopor Lenong Bocah dan kini sutradara sejumlah film dan sinetron. Diam-diam ia belajar acting dari para pemain yang sedang shooting. Perkenalannya dengan anak-anak IKJ (Institut Kesenian Jakarta) juga membuatnya belajar acting. Sampai akhirnya ia diajak Aditya bermain sinetron.
Sinetron pertamanya di tahun 1990 adalah Pendekar Halilintar. Melihat dia bermain sinetron, sang ayah menentang mati-matian. Maklum, Ismail Modal sempat pula mencicipi dunia film, sehingga ia tahu persis bagaimana pergaulan dunia itu. Ismail Modal bermain di film Macan Terbang dan Pukulan Berantai. Rupanya dari sang ayahlah, Jeffry menuruni darah seninya.
Meski dilarang, dia pantang mundur. Ia sama sekali tak menghiraukan larangan dan nasehat sang Apih. Tawaran sinetron yang terus berdatangan makin membuatnya yakin, inilah dunia yang ia cari. Konflik dengan sang ayah pun makin memuncak.
Jeffry mulai tak pulang ke rumah. Tidur berpindah-pindah di rumah temannya. Rambut pun dibiarkannya panjang. Bersamaan dengan itu, kariernya di dunia sinetron makin cemerlang. Ia membintangi sinetron berjudul Sayap Patah bersama Dien Novita, Ratu Tria, dan WD mochtar.
Dari sinetron itu ia dinobatkan sebagai Pemeran Pria Terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja yang digelar TVRI 1991. Ia pun makin sombong dan makin melupakan orang tuanya.

Ingin Punya Majelis Taklim Khusus Waria

JEFFRY makin mencintai dunia akting. Dia juga makin tak peduli terhadap sang ayah yang menentangnya. Tawaran main sinetron juga terus berdatangan. Seiring dengan makin melejitnya nama Jeffry, rezeki pun terus datang mengalir.
Nama yang tenar dan banyak uang ternyata membuat dia makin lupa diri. Dia makin tenggelam dalam dunia malam. Tentu saja seiring dengan makin dalamnya dia bergantung pada narkoba.
Sampai suatu hari tahun 1992 sang ayah meninggal akibat sakit. Dia menyesali kepergian sang ayah.
Dia sangat terpukul. Saat sang ayah dimakamkan, dia turun ke liang lahat dan memeluk jasadnya. Seolah-olah tak rela melepas kepergiannya.
Meski menyesal, namun rasa itu lenyap dalam sekejap. Berganti dengan perilaku yang makin buruk dan kesombongan yang makin besar. Jeffry kini memiliki banyak uang. Tak ada lagi yang perlu didengarkan nasihatnya, sejak sang ayah meninggal.
Hidupnya pun makin jauh dari agama. Meski tinggal bersebelahan dengan masjid, dia seolah-olah melupakan Tuhan. Bahkan, di bulan Ramadan segala kemaksiatan tetap dijalaninya.
Kemampuannya membaca Alquran dan ilmu agama yang dimilikinya seperti lenyap ditelan bumi. Dia makin jauh kecanduan narkoba, bahkan nyaris meninggal. Kejahatan demi kejahatan moral terus saja dilakukannya.

Paranoid

Sampai suatu saat, karena sudah begitu kecanduan, dia berubah menjadi paranoid. Ketakutan selalu menyergap dalam sanubarinya. Dia juga selalu berburuk sangka pada apa dan siapa pun. Segala kesombongannya lenyap diganti ketakutan. Yang dilakukannya hanya berdiam diri di kamar.
Dia takut seseorang akan datang membunuhnya. Setiap kali dia hanya mengintip dari bawah pintu, khawatir ada yang datang hendak mengakhiri hidupnya.
Dia juga sering mendengar ada yang berjalan di atap rumah. Dia tersiksa berminggu-minggu lamanya. Orang-orang pun menganggap dia gila. Bukan hanya itu siksaan yang dialaminya. Karena kecanduan narkoba, dia pun masuk daftar hitam pemain sinetron. Praktis dia tak lagi mendapat tawaran main. Uang tak ada, gadis-gadis pun menjauh.
Di tengah rasa takut yang menderanya, berhari-hari Jeffry dihantui mimpi yang sama. Dalam mimpinya dia melihat jasadnya dalam kain kafan. Karena mimpi buruk, dia menjadi takut tidur. ''Pada saat itu muncul kesadaran, di tengah rasa takut mati itu ternyata ada yang tidak meninggalkanku, yaitu Allah,'' kenangnya.
Dari sana muncul kesadaran atas dosa-dosanya. Dia pun menemui ibunya dan bersimpuh memohon ampun. Sang ibu kemudian mengajaknya berangkat umrah. Dalam keadaan jiwa yang labil dan rapuh itulah Jeffry berangkat ke Tanah Suci. Di sana dia mengalami beberapa peristiwa yang membuatnya sadar akan segala dosanya.
Sepulang dari umrah, dia memang mencoba hidup lurus. Namun pergaulan juga yang kemudian menyeretnya kembali ke persoalan semula, narkoba. Sampai suatu hari pada tahun 1996 dia bertemu dengan gadis cantik bernama Pipik Dian Irawati. Gadis asal Semarang ini berprofesi sebagai model.
''Singkat cerita saya menikah dengan dia,'' ungkap Jeffry yang kini memiliki dua anak, Adiba Kanza Az-Zahra (5) dan Mohammad Abidzan Algifari (3). Mereka menikah 1999.
Bagi Jeffry, Pipik sangat berarti. Dia sangat mengerti dan peduli terhadapnya. Dia bahkan rela hidup dalam kondisi serbakekurangan di awal perkawinan mereka. Maklum, Jeffry tak lagi bermain sinetron, sementara sejak menikah Pipik meninggalkan profesinya sebagai model. Hidup menumpang pada orang tua. Bahkan, mereka pernah harus berjualan kue untuk menyambung hidup.
Namun sejak menikah, hidup Jeffry berangsur-angsur membaik. Kasih sayang dan nasihat sang istri makin mengukuhkan keinginannya untuk kembali dekat pada agama. Sampai perubahan besar terjadi dalam hidupnya pada tahun 2000. Sang kakak, Fathul Hayat, meminta Jeffry memberi khotbah Jumat di Mangga Dua. Fathul memang seorang pendakwah.
Dia mulai mewakilkan kepada adiknya. Pertama kali ceramah, Jeffry menerima bayaran Rp 35.000. Sejak itu dia total hidup di jalan Allah. Undangan ceramah pun berdatangan, terutama seminar mengenai mantan pecandu narkoba.
Meski begitu dia mendapat juga banyak tantangan mengingat posisinya sebagai mantan pecandu narkoba. Tetapi kesabarannya membuahkan hasil. Dia makin mendapat kepercayaan. Undangan ceramah datang silih berganti.
Jeffry berdakwah apa adanya. Dia mengikuti apa yang Rasulullah SAW lakukan dahulu saat menyiarkan agama Islam. ''Patokan saya hadis yang berbunyi, 'berbicaralah dengan bahasa kaummu'. Jadi, saya nggak mau yang terus jaim. Fleksibel saja. Kalau harus berhadapan dengan anak muda, ya kita pakai bahasa yang bisa mereka jangkau,'' alasannya.
Dia kemudian juga menghadapi kalangan yang amat beragam. Mulai dari anak muda sampai para banci. Ini membuatnya bisa berdakwah dengan bahasa gaul terbaru sekalipun. Karena itu, tak heran jika dia kemudian dijuluki Ustad Gaul. ''Terus terang saya malah sekarang ingin punya majelis taklim yang anggotanya para waria. Mereka kan juga punya hak untuk mendapatkan dakwah,'' katanya.
Salah satu kelebihan Jeffry adalah gaya bicaranya yang ceplas- ceplos. Dia juga selalu berusaha memahami siapa yang sedang ada di hadapannya.
Tak dimungkiri, banyak yang terpesona terhadap penampilan fisik Jeffry, pada karismanya. ''Kalau ada yang memuji saya tampan itu sungguh hanya tipuan setan. Mungkin orang itu lagi kelilipan matanya. Coba kalau saya dibandingkan dengan Sultan Djorghie, siapa gue coba?'' katanya setengah berseloroh.
Kendati tak mau mengakui hal itu, Jeffry mengaku banyak yang ingin berfoto bersamanya. ''Kalau yang begini, biasanya saya nggak mau difoto hanya berdua dengan seorang wanita. Kalau yang minta foto wanita, biasanya saya minta bertiga dengan istri saya, supaya tidak menimbulkan fitnah. Itu juga saran istri saya,'' katanya kemudian.
Kendati kini laris sebagai penceramah, Jeffry selalu teringat saat-saat sulit yang dihadapinya di awal kariernya sebagai seorang ustad. Suatu saat dia berdakwah di lingkungan yang fanatik terhadap sebuah mazhab tertentu.
Ketika dia mulai mengucapkan salam, ternyata dijawab dengan lesu. Karena Jeffry memang biasa berbicara ceplas-ceplos dan suka guyon, dia pun bermaksud membangun suasana dengan nyeletuk, ''Ibu-ibu kok lemas amat nih. Kan udah sahur?'' celetuknya tanpa bermaksud apa-apa.
Tetapi tanpa diduga, imam masjid di lingkungan itu langsung berdiri dan mengacungkan telunjuk kepadanya sambil berseru, "Oh ternyata elo dari aliran... (sambil menyebutkan nama sebuah organisasi Islam di Indonesia ).'' Jeffry pun segera meminta maaf dan menjelaskan dengan sabar, dalam berdakwah dia tidak membawa aliran tertentu.
Tetapi segala kendala itu terus coba dihalaunya. Dia tak juga hendak mundur, meski berbagai tantangan datang. Kini dia berupaya membangun pesantren bagi mereka yang ingin kembali ke jalan Tuhan. Juga akan menampung mereka yang ingin lepas dari narkoba.(Tresnawati-14t)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar